Senin, 28 Maret 2011

Analisa Kesehatan Gizi

Gizi kertas: Analisis situasi gizi dan kesehatan masyarakat
Keberhasilan pembangunan nasional bangsa ditentukan oleh ketersediaan sumber daya manusia (SDM) berkualtias, sumber daya manusia yang telah yang tangguh secara fisik, mental kuat dan bersemangat kesehatan selain untuk penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi. Kekurangan gizi dapat merusak bangsa. Tujuan analisis adalah untuk mengidentifikasi tren dan kesehatan masyarakat gizi masalah dan faktor-faktor penentu yang mempengaruhi masalah ini.
Analisis menggunakan data primer dari SUSENAS 1989 hingga 2003, dan data yang memiliki gizi dan kesehatan status informasi masyarakat. Studi juga didasarkan pada perbedaan antara distrik, antara provinsi, serta perbedaan antara perkotaan dan pedesaan daerah. Bagaimana "Bivariate dan multivarian" analisis diterapkan dalam makalah ini untuk menjelaskan perubahan pada faktor-faktor gizi status dan kesehatan penentu untuk masyarakat dan memberikan rekomendasi tentang kebijakan program untuk meningkatkan gizi dan kesehatan masyarakat di masa depan.
Hasil studi ini umumnya menunjukkan masalah gizi dan kesehatan masyarakat masih cukup dominan. Kesehatan indikator, meskipun peningkatan ditandai status kesehatan dengan meningkatkan harapan hidup, kematian bayi menurun dan di bawah lima, tapi masih membawa sekitar 24% dari distrik dengan kematian bayi tingkat (IMR) > 50 per 1000 live kelahiran.
Kematian yang tinggi karena untuk kekurangan gizi
Penyebab kematian memasuki tahun 2000 masih didominasi oleh penyakit menular dan meningkatkan sirkulasi dan penyakit pernapasan. Status kesehatan rendah adalah sebagian disebabkan oleh faktor lingkungan atau lingkungan kontaminasi dari air dan udara. Selain itu, perilaku faktor ini juga berpengaruh untuk terjadinya penyakit kronis, seperti penyakit jantung, kanker, dan lain-lain.
Tingkat kematian tinggi adalah juga dampak dari kekurangan gizi pada populasi. Mulai dari kelahiran, masalah telah mulai muncul, yaitu jumlah bayi lahir dengan berat badan rendah (LBW < 2,5 kg). Masalah ini berlanjut dengan masalah tinggi kekurangan gizi di anak-anak usia sekolah anak-anak, remaja, dewasa untuk usia tua.
Hasil dari studi-studi lain yang tidak kurang penting adalah semakin dia menjelaskan "fenomena beban ganda" yang menurut penduduk Indonesia, terutama di daerah perkotaan, ditandai dengan meningkatnya masalah kelebihan berat badan, dan peningkatan proporsi ibu dengan anak-anak yang kelebihan berat badan yang memiliki pendek atau tipis. Makalah ini juga membahas asumsi penurunan masalah gizi sampai dengan tahun 2015, dengan berbagai intervensi alternatif.
Peningkatan SDM untuk masa depan harus dilakukan untuk memperbaiki atau memperkuat intervensi yang ada menjadi lebih efektif, berguna untuk target kelompok penduduk terutama rentan dan miskin. Peningkatan kualitas perawatan kesehatan dan gizi di populasi prioritas, selain untuk meningkatkan pendidikan dan mengurangi kemiskinan, terutama di distrik dan kota-kota keparahan sangat berat.
Layanan kesehatan dan gizi untuk masa depan juga harus mempertimbangkan pertumbuhan populasi urban yang akan membawa masalah lain. Dengan meningkatkan kualitas intervensi kepada masyarakat, diasumsikan penurunan masalah gizi dan kesehatan masyarakat dapat dicapai.
Keberhasilan pembangunan nasional bangsa ditentukan oleh ketersediaan kualitas sumber daya manusia (SDM), sumber daya manusia yang telah yang tangguh secara fisik, mental kuat dan bersemangat kesehatan selain untuk penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi. Kekurangan gizi dapat merusak kualitas sumber daya manusia.
Saat ini, mayoritas atau 50% dari populasi Indonesia dapat mengatakan tidak akan sakit tapi juga tidak sehat, umumnya disebut kekurangan gizi. Insiden kekurangan gizi adalah sering terluputkan pandangan atau pengamatan yang biasa, tetapi secara bertahap berdampak pada kematian ibu, kematian bayi, kematian bayi dan harapan hidup yang rendah.
Periode kehamilan adalah periode yang sebagian besar menentukan kualitas sumber daya manusia di masa depan, karena pertumbuhan anak sebagian besar ditentukan oleh kondisi ketika janin dalam rahim. Namun, perlu diingat bahwa keadaan kesehatan dan gizi status wanita hamil juga ditentukan jauh lebih awal, yaitu ketika remaja atau usia sekolah. Sebagainya status gizi remaja dan usia sekolah ditentukan juga pada kesehatan dan gizi kondisi pada kelahiran dan bayi.
Perserikatan Bangsa-Bangsa (Januari 2000) terfokus upaya untuk meningkatkan gizi dalam kaitannya dengan upaya untuk meningkatkan sumber daya manusia di seluruh kelompok umur, dengan mengikuti siklus hidup. Dalam gambar 1 dapat melihat sekelompok orang yang perlu perhatian pada upaya untuk meningkatkan gizi. Dalam gambar 1 ditampilkan juga faktor yang mempengaruhi situasi gizi yang deteriorating, yaitu perawatan kesehatan yang tidak memadai, penyakit menular, pengasuhan, kurangnya konsumsi makanan, dan lain-lain yang pada akhirnya berdampak pada kematian.
Untuk lebih jelas mengetahui faktor-faktor yang menyebabkan masalah gizi, bagan 2 di atas (Unicef, 1998) menunjukkan secara sistematis faktor-faktor penentu yang mempengaruhi masalah gizi yang dapat terjadi dalam masyarakat. Dengan demikian, peningkatan gizi upaya akan lebih efektif dengan selalu meninjau faktor-faktor ini.
Gizi Status penduduk proyeksi 2015
Jika status gizi populasi dapat ditingkatkan, status kesehatan dapat dicapai. Di sini hanya berfokus pada status gizi proyeksi, didasarkan pada situasi terbaru 2003 di Indonesia dan dibahas dengan sehat Indonesia 2010, dunia yang sempurna untuk anak-anak, 2002, dan tujuan pembangunan milenium pada tahun 2015. Penurunan status gizi tergantung pada banyak faktor.
Berdasarkan deskripsi sebelumnya dan juga terdapat dalam grafik 1 dan bagan 2, penyebab yang mendasari adalah:
o ketahanan pangan pada tingkat rumah tangga tidak memadai. Meninjau pemantauan konsumsi makanan pada tahun 1995 untuk 1998, menyimpulkan (lihat tabel 10): 40-50% dari rumah tangga mengkonsumsi lebih sedikit energi daripada 1500 kcal dan 25% dari rumah tangga mengkonsumsi 32 gram protein per orang per hari atau mengkonsumsi < 70% dari kecukupan dianjurkan. (Widyakarya National makanan dan gizi / WKNPG, 2000). Berdasarkan SP 2000, jumlah perkiraan rumah tangga adalah 51,513,364, masalah keamanan pangan memukul 20-25 juta rumah tangga di Indonesia. Walaupun ada peningkatan pada keamanan pangan rumah tangga, 2003 studi ini masih menunjukkan rasio makanan pengeluaran untuk total pengeluaran keluarga masih tinggi. Indonesia masih menghadapi setidaknya 20% di distrik-distrik pedesaan di mana rasio ini adalah > 75%, dan 63% dari distrik dengan rasio pengeluaran pada makanan / non makanan antara 65-75%.
o makanan keamanan tingkat rumah tangga yang terkait erat dengan kemiskinan, yang didasarkan pada analisis SUSENAS 2002, menemukan proporsi orang miskin 18.1% atau 38,4 juta orang (CBS, 2002). Distribusi distrik miskin bervariasi, ada masih sekitar 15% persen dari distrik miskin dengan > 30%.
o kurangnya keseimbangan antara daerah (sub, distrik) seperti yang terlihat dari variasi keparahan prevalensi masalah gizi, masalah kesehatan lainnya, dan masalah kemiskinan. Sebagai sebelumnya diungkapkan dalam keterangan di bawah ini adalah 75% dari distrik di Indonesia beruang beban dengan prevalensi kekurangan berat badan > 20%.
o tingginya tingkat penyakit menular terkait dengan sanitasi, lingkungan, dan layanan kesehatan yang tidak memadai, bersama dengan cakupan imunisasi adalah masih tidak universal. Kekurangan gizi menyebabkan penyakit menular pada anak-anak di bawah lima termasuk infeksi pernafasan akut dan diare. Hasil IDHS 1991, 1994 dan 1997 Apakah tidak mengurangi prevalensi ARI masing-masing 10%, 10% dan 9%. Bahkan survei kesehatan rumah tangga 2001 prevalensi ARI oleh 17%. Sementara prevalensi diare IDHS 1991, 1994 dan 1997 juga tidak berbeda jauh dari tahun ke tahun masing-masing 11%, 12% dan 10%, dan hasil SKRT 2001 berjumlah 11%.
o lingkup gizi improvement program umumnya rendah, banyak Posyandu tidak bekerja. Pertumbuhan pemantauan hanya dilakukan di sekitar 30% dari lima ada.
o memberikan hanya ASI secara umum masih rendah, dan ada menurun tren dari 1995 hingga 2003. Jauh Terlebih lagi, menyusui, sampai 6 bulan cenderung renda, hanya sekitar 15-17%. Setelah itu memberikan komplementer memberi makan ke dalam masalah dan mengakibatkan inhibisi pertumbuhan.
o tinggi prevalensi anak-anak yang pendek yang menunjukkan masalah gizi di Indonesia adalah masalah kronis.
o tinggi angka kematian ibu, bayi dan balita, pendapatan rendah dan tingkat pendidikan rendah menyebabkan indeks rendah sumber daya manusia.
o kurangnya pembiayaan untuk kesehatan yang baik dari sektor pemerintah dan non-pemerintah (2000: USD 147.0/kapita/tahun), juga sebagai pembiayaan untuk gizi (2003: USD 200/kapita/tahun).
Dari besarnya masalah gizi 2003 dan menyebabkan multi-factor, maka proyeksi diprediksi gizi tren yad seperti berikut:
1. Prevalensi diproyeksikan kekurangan berat badan
Dari deskripsi sebelumnya, penurunan prevalensi kekurangan berat badan (berat untuk usia) dipelajari didasarkan pada SUSENAS 1989 hingga 2003 berjumlah 27% atau penurunan prevalensi sekitar 2% per tahun. Telah ada banyak intervensi untuk meningkatkan status gizi anak-anak muda, termasuk layanan gizi melalui terintegrasi kesehatan. Dengan meningkatkan status gizi usaha layanan, terutama yang berhubungan dengan meningkatkan gizi konseling untuk umum, diharapkan penurunan prevalensi setidaknya sama dengan sebelumnya periode atau oleh 30%. Dalam studi SUSENAS 2003, prevalensi kekurangan berat badan adalah 19,2% dan 8,3% parah kekurangan gizi. Dengan asumsi 30% penurunan, diharapkan oleh 2015 prevalensi 13,7% dan prevalensi kekurangan gizi untuk 5,7 %
2. Prevalensi diproyeksikan kekurangan gizi (terhambat) pada anak baru di sekolah
Perubahan dalam ukuran fisik penduduk adalah indikator satu keberhasilan upaya untuk meningkatkan kualitas sumber daya manusia. Hal ini juga diketahui bersama bahwa di banyak negara anak-anak tumbuh lebih cepat daripada 20-30 tahun yang lalu. Mereka tidak hanya matang tapi juga mencapai awal dewasa pertumbuhan cepat. Beberapa studi yang dilakukan di beberapa negara, menunjukkan perbedaan ketinggian antara kelompok usia 20 tahun dan 60 tahun laki-laki dan perempuan dewasa ketinggian dari sekitar 8 cm.
Juga menyatakan bahwa di kebanyakan negara berkembang sekuler tren "bertambahnya ketinggian adalah 1 cm untuk setiap dekade sejak 1850. Perubahan ini berhubungan erat dengan kondisi lingkungan dan perubahan dalam kualitas kehidupan manusia.
Di Indonesia penelitian "sekuler tren" meningkatkan penduduk tinggi dari satu tertentu waktu. Informasi yang ada adalah hasil dari survei ansional 1978 dan 1992 di antara anak-anak di bawah lima dari 15 provinsi. Dari hasil survei kedua, dinyatakan bahwa ada perubahan dalam rata-rata ketinggian 2.3 cm anak laki-laki dan 2.4 cm pada gadis dalam periode 14 tahun.
Analisis TBABS survei menunjukkan penurunan prevalensi kekurangan berat badan (terhambat) pada anak baru di sekolah di 1994-1999 berjumlah 3,7%. Stunting atau pendek masalah kekurangan gizi kronis dan penurunan umumnya sangat lambat. Pengalaman meningkat rata-rata ketinggian dari generasi ke generasi di negara berkembang pada umumnya setinggi 1 cm dalam periode dari 10 tahun. Peningkatan rata-rata tinggi baru anak memasuki sekolah 1994-1999 dalam 5 tahun berkisar dari 0,1-0,3 cm. Dengan situasi di 1999 dengan 3.7% penurunan selama 5 tahun, dan menggunakan asumsi-asumsi yang sama dengan prevalensi mengurangi kekurangan berat badan, yang adalah 40% kemudian pada tahun 2015 prevalensi terhambat anak baru di sekolah diasumsikan 24%.
3. Proyeksi KEK pada subur wanita berusia
Berdasarkan studi SUSENAS 1999-2003, penurunan proporsi KEK risiko berkisar dari 5-8% dalam periode 4 tahun tergantung pada kelompok usia. Kelompok perempuan usia melahirkan anak, sampai dengan tahun 2003 telah menjadi prioritas bagi gizi perbaikan program. Untuk meningkatkan status gizi populasi, kelompok usia ini terutama di Pamannya berusia 15-19 tahun harus menjadi prioritas untuk masa depan. Seperti yang ditunjukkan dalam gambar 10, 35-40% Pamannya KEK-risiko berusia 15-19 tahun.
Intervensi untuk kelompok usia ini mungkin tidak terlalu rumit dibandingkan dengan intervensi pada bayi atau wanita hamil. Namun, intervensi akan lebih berguna untuk mengembangkan sumber daya manusia untuk generasi masa depan. Dengan menggunakan asumsi menurun dari tahun 1999-2003 untuk usia kelompok 15-19 tahun.
Dengan posisi proporsi risiko KEK 35% pada tahun 2003, pada tahun 2015 asumsi akan 20%. Asumsi penurunan proporsi KEK pada Pamannya kelompok 15-19 pada tahun 2015 diharapkan untuk menekan kejadian kelahiran rendah berat badan, menurunkan prevalensi kekurangan berat badan dan juga mempercepat kenaikan tinggi anak Indonesia.
4. Proyeksi masalah mikronutrien
Micronutrient yang telah keluar hingga 2003 masalahnya masalah VAD, IDD dan gizi Anemia. Ada banyak masalah gizi mikro lainnya yang tidak diungkapkan tetapi peran sangat penting untuk status gizi populasi, seperti masalah kurangnya kalsium, kurangnya asam folat, kurangnya vitamin B1, seng kurang.
Mayoritas intervensi yang telah dilakukan untuk mengurangi masalah VAD, IDD dan gizi Anemia di Indonesia adalah masih berputar di sekitar suplemen kapsul atau ketentuan vitamin A, yodium kapsul dan besi tablet. Strategi lain jauh lebih efektif seperti benteng, konseling untuk diversifikasi makanan masih tidak dilaksanakan.
Untuk proyeksi gizi mikro masalah sampai dengan tahun 2015 menurut informasi yang tersedia hingga 2003 hanya dapat dilakukan untuk masalah KVA, IDD dan anemia. Data dasar untuk keseluruhan micronutrient masalah untuk masa depan harus dilakukan, karena informasi karena kurangnya kalsium, seng, asam folat, vitamin B1 tersedia hanya dari informasi konsumsi makanan di tingkat rumah tangga yang cenderung defrisit dalam diet harian.
Dalam deskripsi sebelumnya KVA masalah pada bayi dikenal hanya dari hasil survei 1992. Dalam survei menyatakan xeroftalmia masalah seperti dampak VAD telah dinyatakan bebas dari Indonesia, tetapi 50% dari bayi masih menderita retina serum < 20 mg, di mana situasi ini akan dapat memicu munculnya xeroftalmia kasus. Dari beberapa laporan, xeroftalmia kasus sudah mulai muncul kembali, terutama di NTB.
Memberikan vitamin a pada bayi diasumsikan telah mencapai semua anak di bawah lima. Intervensi KVA dengan distribusi tinggi dosis vitamin kapsul untuk 5 tahun mendatang masih dianggap perlu, di samping strategi lain (benteng, ekstensi, dan diversifikasi makanan) mulai meningkatnya. Diharapkan bahwa dengan "beberapa strategi" 50% dari VAD pada bayi dapat dikurangi 25% pada tahun 2015, atau penurunan sebesar 50%.
Tahun 2003 telah dievaluasi untuk menentukan keberadaan IDD pencegahan IDD setelah informasi terakhir 9,8% di 1996-1998. pada tahun 1996 yang diasumsikan prevalensi IDD akan berkurang sekurang-kurangnya 50% pada tahun 2003 setelah intensifikasi IDD pencegahan proyek (IP-IDD) 1997-2003.
Namun, ini tidak terjadi secara nasional, ada masih banyak masalah tidak diselesaikan sepenuhnya dalam menanggapi ini, seperti konsumsi Garam beryodium pada tingkat rumah tangga masih tidak universal (SUSENAS 2003 menunjukkan hanya 73% dari rumah tangga mengkonsumsi Garam beryodium.)
Selain itu, pemantauan yodium kapsul di daerah endemik berat dan media tidak diketahui sejauh ini kapsul yang diberikan kepada kelompok sasaran. Mengingat masalah IDD adalah sangat erat terkait dengan konten yodium dalam tanah, secara umum, prevalensi IDD dalam populasi tinggal di daerah endemik dari berat dan menengah dapat berkurang setelah intervensi yodium kapsul dalam periode tertentu dan akan meningkat jika konsumsi Garam beryodium dapat universal.
Namun, jika kapsul adalah memberikan tepat sasaran dan tidak dapat beyodium garam universal, prevalensi IDD cenderung meningkat lagi. Dengan kondisi ini, ada kemungkinan prevalensi IDD tidak bisa mengatasi seratus persen dalam 12 tahun (sampai dengan tahun 2015). Diperkirakan bahwa TGR pada tahun 2015 bisa dikurangi menjadi kurang dari 5%.
Pencegahan anemia hingga 2002 masih terfokus pada wanita hamil. Seperti yang diungkapkan dalam deskripsi sebelumnya prevalensi anemia di antara wanita hamil menurun dari 50,9% (1995) hingga 40% (2001). Pengurangan anemia untuk masa depan yang diharapkan tidak hanya untuk wanita hamil, tetapi juga untuk wanita melahirkan anak usia untuk mengurangi angka kematian ibu dan meningkatkan produktivitas.
Prevalensi anemia di Pamannya oleh SKRT 2001 adalah 27,1%. Angka ini diproyeksikan menjadi 20% pada tahun 2015. Asumsi menolak hanya sekitar 30% sampai dengan tahun 2015, karena sampai 2002, anemia pencegahan intervensi pada Pamannya masih tidak intensif.
Pengurangan assumed prevalensi masalah gizi perlu ditingkatkan dengan mempertimbangkan kecenderungan tingkat kematian, penyakit pola, tingkat konsumsi, pendapatan dan pendidikan. Selain itu, hingga 2003, ada banyak masalah gizi yang belum terungkap terutama berurusan dengan masalah mikronutrien lain yang memiliki peran penting dalam gizi keseluruhan perbaikan. Kesehatan dan gizi perbaikan Program masa depan
Berangkat dari besarnya masalah gizi dan kesehatan dan berbagai faktor yang menyebabkan masalah ini antara daerah, hal ini membutuhkan program komprehensif dan terpadu baik di distrik, provinsi, dan nasional. Jelas kerjasama antar sektor yang relevan penting, selain untuk mengurangi aktivitas tumpang tindih pangsa dan tidak fokus.
Berikut adalah pikiran untuk masa depan program, antara lain:
1. Banyak hal yang harus diperkuat untuk melaksanakan program gizi, mulai dari ketersediaan data dan informasi secara berkala untuk digunakan dalam perencanaan program yang benar dan efektif. Studi program yang efisien strategi untuk periode mendatang mutlak diperlukan, mulai dari Nasional untuk tingkat kabupaten.
2. Melakukan program pencegahan untuk meningkatkan gizi dan kesehatan preventif untuk jangka panjang, sementara curative mungkin akan diberikan kepada sekelompok orang yang benar-benar membutuhkan itu. Bentuk program-program yang efektif seperti peningkatan kesehatan dan gizi perilaku dilakukan di tingkat profesional keluarga mulai berpikir tentang, dan tentu saja dengan ketentuan kriteria tertentu atau lokal.
3. Melakukan program khusus strategi untuk mengatasi kemiskinan, keduanya di daerah perkotaan dan pedesaan dalam bentuk pemberdayaan keluarga strategi dan menciptakan kerjasama yang baik dengan sektor swasta.
4.
Secara bertahap melakukan perbaikan di bidang pendidikan, strategi ini merupakan strategi jangka panjang yang dapat mengangkat Indonesia dari berbagai masalah gizi dan kesehatan.
By: Arvienfarrel

Tidak ada komentar: